Laman

Kamis, 19 September 2013

Ratapan Seorang Ibu

Lalu
Kau masih terdiam
Takdapat berpijak tanpaku
Mengeluh tanpa kata
Hanya dapat menangis
Lucu bagai boneka barbie yang manis

Angin malam menyentuh kulitku
Perasaan dingin menemani
Seiring dinginnya hatiku
Tanpamu
Putriku

Terlintas dalam bayangku
Wajah elok nan asri
Yang dulu kutimang
Kini hilang dalam kelam

Kamis, 27 Juni 2013

Seruak Emosi

Ada beberapa hal yang sangat kutakuti
Ketika aku benar benar lelah untuk menyudahi
Entah roh apa yang membawaku mengikutinya

Jiwa seakan hilang ditelan kesunyian
Gelap begitu menyelimuti
Berlahan

Rasa semakin gundah
Semakin tak menentu
Begitu jauh
Sangatlah jauh

Sabtu, 09 Maret 2013

TMT (Teman Makan Teman)

Kejadian minggu lalu memang memuakkan, semua telah mengetahui rahasia yang kusimpan saat ini. Kenyataan yang begitu menegangkan. Aku menyukai 2 orang dalam satu waktu. Namun, aku tetap memilih salah satu dari mereka. Sebut saja Satya dan Yanuar. Mereka adalah dua orang yang selalu mengisi hariku dengan senyuman manis. Seorang Satya yang penuh kata-kata bijak, tak jauh dari perilakunya. Ia seorang yang selalu memberiku masukan posistif, penggugah semangat hariku. Seorang Yanuar sekaligus guru maematika dan IPSku. Ia seorang yang selalu mengerti keadaan dan posisiku. Dapat dikatakan, aku berada dalam posisi yang sangat mengerikan.
Pagi ini, aku mendapat tugas untuk memberikan penjelasan di depan teman-teman tentang hari valentine. Aku adalah tipe cewek yang pemalu. Selalu ragu untuk melakukan sesuatu. Seakan diberi perintah untuk memberiku semangat, Satya tiba-tiba mengirim pesan padaku. Ia memberiku semangat yang luar biasa. Entah apa yang sedang kurasakan saat ini. Sekedar perasaan suka, ataukah lebih. Itu selalu terlintas di fikiranku selama ini.
Mungkin, kali ini pertanyaan yang selama ini memenuhi fikiranku terjawab. Aku memang memiliki rasa yang lebih terhadap Satya. Aku menyayangi Satya. Di sisi lain, aku juga menyukai Yanuar. Semakin hari, aku semakin dekat dengan Satya. Dan Yanuar, ia meninggalkanku tanpa jejak yang jelas. Aku tak tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, aku mengerti rasa apa yang mulai tumbuh padaku. Rasa yang tak mungkin setiap manusia dapat melewatinya.
Aku telah membulatkan keputusanku. Aku lebih memilih Satya. Inilah kali pertama aku menyukai seseorang dengan keyakinan yang tinggi. Bahkan mungkin terlalu tinggi. Aku hanya bisa pasrah terhadap perasaanku ini. Aku tak mampu melawan semua ini. Aku terlalu lemah untuk menolaknya. Aku hanya bisa berharap, semoga semua ini tak sia-sia.
Satya memang tipe cowok yang care. Ia begitu memahami bagaimana aku. Sabar menahan sifat cuek yang ada padaku, egois yang tinggi, dan masih banyak lagi kelemahan pada diriku. Tapi inilah yang menjadi sesuatu yang menarik bagiku. Satya selalu ada untukku yang penuh dengan kekurangan. Ia lebih mementingkan kebersamaan daripada kebebasannya.
***
Sekitar 3 bulan telah berlalu. Detik-detik yang menegangkan mulai kurasakan. Ada sesuatu yang kurasa tak beres. Aku tak mengerti benar apa yang terjadi. Minggu depan, aku akan merayakan hari spesialku. Aku menginginkan sesuatu yang special. Aku berharap dapat menjadi kekasih Satya.
Sore ini, aku merasa sangat lelah. Latihan badminton hari ini cukup menguras tenagaku. Aku mengambil hp yang ada di tas latihanku. Aku membuka pesan yang masuk. Tapi, dari sekian sms aku tak menemukan pesan dari Satya. Mungkin ia sedang sibuk. Aku melanjutkan latihanku. Masih tersisa waktu sekitar 15 menit, aku memilih untuk melatih kemampuanku dengan melawan salah satu teman satu angkatanku di tempat latihan.
Aku masih tetap menunggu pesan dari Satya, namun tak kunjung kudapatkan. Hanya ada pesan dari teman sekelasku yang memberikan info tentang jadwal try out. Aku mulai curiga dengan semua ini. Aku teringat, fbku berteman dengan fb Satya. Aku memutuskan untuk membuka fb itu.
Ini benar-benar diluar dugaanku selama ini. Satya telah mengubah statusnya dari Lajang menjadi Berpacaran. Yang lebih mengejutkan lagi. Satya berpacaran dengan orang yang selama ini menjadi tempatku bercerita bahwa aku memiliki perasaan yang lebih terhadap Satya. Aku benar-benar shock dengan berita ini. Tanpa kusadari, air mata menetes dengan derasnya. Aku tak mampu menahan semua ini. Orang yang selama ini kupercaya, justru malah membuatku down, aku masih belum bisa menerima kenyataan ini. Benar-benar diluar dugaan.

Jumat, 01 Maret 2013

Jawaban Sebuah Penantian



“Liat deh, boneka yang ini manis banget, mirip sama orang yang itu” pujiku sembari menatap orang yang sedang memilih sepatu olahraga sedikit jauh didepanku.
“Yang itu, iya sih manis, tapi tumben banget kamu ngomong anak cowo manis ? baru pertama kali ini deh aku denger kamu muji cowo sejak Putra ngajak kamu LDR’an” jawab Reca, sahabatku sejak kelas 7 smp.
            Tiba-tiba, aku kembali mengingat sosok yang baru saja disebutkan oleh Reca, yahh, seorang Putra yang sudah cukup lama menemani hariku dengan senyuman manisnya. Aku kembali merasakan rindu yang sudah sekitar 2 tahun kupendam dalam dalam, tanpa terasa aku mulai meneteskan air mata. Aku masih merekam baik memori saat pertama kali aku bertemu dengan Putra. Saat itulah aku pertama kali melihat senyum yang begitu ikhlas dilontarkan padaku, aku hanya membalas senyumnya dengan anggukan pelan.
Setelah satu minggu kejadian di restaurant, aku bertemu kembali dengan Putra. Dengan senyum yang sama, dia menyapaku kembali. Namun kali ini, dia mulai menghampiriku dan memberiku jabatan tangan, aku dengan senang hati membalas jabatan tangan itu
“Putra, kamu siapa ?”
“Fisya”
“Nama kamu lucu, tapi manis. Kaya’ yang punya”
Aku hanya tertawa kecil dengan lelucon itu, itulah awal perkenalanku dengan Putra. Hari demi hari, aku merasa semakin dekat dengan Putra. Entah apa yang membuatku nyaman berada disampingnya. Dia memiliki kepriadian yang sangat baik, disiplin, dan pintar.
Kurang dari satu bulan saling mengenal, kami resmi pacaran. Ini adalah pertama kalinya aku menerima seorang cowo dalam hidupku. Yahh, dapat dikatakan Putra adalah cinta pertamaku.
“Fis, kamu nggapapa kan ? ngelamun’nya jangan lama-lama dong. Bikin takut aja, pake acara nangis juga. Udah, jangan mikir Putra dulu.”
Aku tersentak mendengar perkataan Reca. Aku tersadar dari lamunanku yang semakin menjadi-jadi. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke rumah dan istirahat sejenak untuk meluapkan semua uneg-unegku.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, aku menemani mama menemui rekan kerjanya di restaurant. Tak asing, restaurant ini merupakan restaurant yang menjadi tempat pertamaku melihat senyum manis Putra. Aku tak bisa meluapkan rasa rinduku sekarang, aku sedang bersama mama, mama ngga boleh tau bahwa aku sedang dilanda rindu tingkat tinggi.
Aku meminta izin pada mama untuk ke kamar kecil restaurant. Di kamar mandi, aku dapat menangis sepuasku. Sekuat aku mengeluarkan air mata. Aku tak ingin terbebani oleh rasa rindu yang begitu kalut mendekapku.
***
Keesokan harinya, aku mendapat kiriman sebuah jam tangan. Pengirimnya tak kukenali. Hanya ada sepucuk surat yang menemaninya.

Dear Fisya,
Apa kabar Fisya, maaf aku hanya dapat memberimu jam tangan cantik ini. Aku berharap kau dengan senang hati menerimanya, dan dengan ikhlas memakainya. Jagalah jam tangan ini dengan baik, seperti kau menjaga hatiku. Aku selalu merindukanmu Fisya, tak ada yang berubah dariku, aku tetaplah aku. Aku bangga memiliki seorang princess yang selalu dengan ikhlas menungguku. Aku disini menunggumu Dear, aku selalu menjagamu, dihatimu. HAPPY BIRTHDAY MY DEAR, FISYA FENISYA.

Aku tau, Putra lah yang mengirim jam tangan ini. Begitu cantik. Aku ingat, hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 15. Sungguh menyenangkan, ternyata Putra masih mengingat hari ulang tahunku, bahkan ia lah yang menjadi pengucap sekaligus pemberi hadiah pertamaku kali ini.
Aku memakai jam tangan ini dengan bangga. Aku berjanji akan menjaga jam tangan ini seperti aku menjaga hati Putra, sebagai pengganti Putra disisiku sekarang J.
Aku segera menuju ruang makan untuk sarapan. Namun, aku tak menemukan seorangpun di rumah. Papa, Mama, semuanya pergi tanpa pamit. Tapi makanan telah tersedia di meja makan. Tanpa berfikir panjang, aku langsung sarapan dan berangkat sekolah. Hari ini, aku berangkat bersama supir, karena Papa sudah tak ada di rumah, mungkin Papa hari ini berangkat lebih pagi.
Sesampainya di sekolah, aku melihat Reca bersama kawan lainnya sedang tertawa dengan riang, aku menyapanya dengan ramah. Reca dan yang lain menjawab dengan senyuman lebar. Reca sepertinya melihatku memakai jam tangan dari Putra.
“Wahh, yang lagi ultah kelihatannya lagi berbunga-bunga nihh. Makin cantik pula.” Sindir Reca dengan tawa kecil
“Apaan sih kamu Ca,  kalo iya mau apa coba.” Jawabku dengan sedikit kesal
            Reca memelukku dengan erat, aku tak mengerti apa maksudnya. Raut wajahnya pun mulai berubah senang, namun ada kesedihan yang terselip. Begitu juga dengan yang lain. Mereka turut memelukku dengan lembut.
            Jam istirahat tiba, aku merasakan perutku mulai protes minta diisi. Aku memutuskan untuk ke kantin. Di tengah perjalanan, aku ditarik oleh seseorang. Aku menoleh dan menatapnya tajam.
“Lepasin dong, aku ngga kenal siapa kamu.” Pintaku ketus
“kamu Fisya Fenisya” tanyanya padaku
“iya, kenapa ?” tanyaku
“nggapapa, cuma tanya aja kok. Salam kenal.” Jawabnya
“oh, iya. Sama-sama”
Aku segera menuju kantin untuk makan siang. Aku melihat sosok yang tadi menarik tanganku. Sepertinya dia mengawasiku. Namun, itu bukan masalah. Selama dia tak membuatku repot, terserah.
Jam pelajaran telah usai, aku pulang dengan perasaan heran. Aku seperti merasa aneh dengan orang yang tadi menarik tanganku. Aku kembali teringat kejadian tadi pagi, Reca dan yang lain sempat sedih melihatku memakai jam tangan dari Putra. Dan dilanjutkan oleh orang yang menarik tanganku tadi. Sebelum bertanya apakan aku yang bernama Fisya Fenisya, dia juga menatap jam tangan ini. Apakah ini aku ada hubungannya dengan Putra, ada apakah dengan Putra.
Aku mengambil HP yang berada di dalam tasku. Sudah sekitar 3 bulan, aku tak ada kontak dengan Putra. Aku mencari nomor Putra di kontakku. Aku mencoba menghubunginya. Namun, nihil, nomornya tak aktif. Aku mulai memikirkan hal yang tidak tidak. Namun aku tetap yakin, Putra baik-baik saja. Tak putus asa, aku membuka FB, dan mencari FB Putra. Namun, FB’nya telah terblokir. Aku semakin takut.
***
Satu minggu telah berlalu. Rasa penasaranku semakin mengembang. Aku hanya bisa diam dan tak mau membuka mulut kepada siapapun kecuali Papa dan Mama. Termasuk Reca dan lainnya, aku hanya bisa diam menanggapi pertanyaan mereka. Aku sendiri tak mengerti apa yang membuatku seperti ini. Yang pasti, aku sedang memikirkan Putra, apakah dia baik-baik saja. Itu yang sedang memenuhi fikiranku. Aku menjadi kacau.
Aku kembali teringat kejadian minggu lalu, Reca menatap jam tangan pemberian Putra. Aku segera menemui Reca.
“Reca” panggilku dengan nada putus asa.
“iya”
“apa kamu ngerti keadaan Putra sekarang, aku kangen sama Putra. HP sama FB’nya udah ngga ada yang aktif. Aku pengen tau keadaan Putra”
            Aku tak mengerti apa maksud semua ini. Reca hanya menangis mendengar perkataanku tadi. Aku semakin tak mengerti ketika orang yang minggu lalu menarik tanganku tiba-tiba mendekatiku yang turut menangis bersama Reca. Dia turut menangis. Aku tak mengerti apa sebabnya mereka menangis. Ini membuatku semakin penasaran.
“Kalian kenapa nangis ngga jelas kayak gini. Reca, jawab pertanyaanku. Apa kamu tau keadaan Putra sekarang. Aku kangen sama Putra.”
“Sorry kalo aku ikut campur, aku sebenarnya ada maksud menarik lenganmu minggu lalu. Aku mempunyai tugas. Namun, aku masih melihatmu ceria memakai jam tangan itu. Aku tak ingin mengusik keceriaanmu itu.” Jelas cowok yang minggu lalu menarik tanganku.
“maksud kamu apa ? jelasin. Jangan buat aku makin penasaran.” Tangisku semakin menjadi-jadi.
“aku akan menemuimu di taman belakang sepulang sekolah” jawabnya singkat
            Aku masih termenung dikelas, memikirkan apa yang ada dibalik semua ini. Aku hanya bisa menebak nebak dengan tebakan tak jelas.
***
“apa kamu tau, dari siapa jam tangan itu ?”
“aku mengerti benar, Putra lah yang mengirim jam tangan cantik ini.”
“sebelumnya kenalin, aku Fiki, adik dari Putra.”
            Aku hanya bisa menatap kosong wajah Fiki. Aku tak akan mengira Fiki adalah adik Putra. Memang, kalo diamati Fiki memiliki mata yang sama dengan Putra.
“ngga usah ngelamun, aku ngga bercanda” ujar Fiki
“sorry, iya aku percaya. Mata kamu mirip sama Putra. Terus, kamu kenapa ngikutin aku sekolah disini. Bukannya kalian pindah ke Banjarmasin sejak 2 tahun lalu.” Jawabku
“aku ngga tau harus mulai dari mana, ceritanya panjang.” Jawab Fiki dengan raut sedih
“oh iya, gimana kabar Putra ? kamu tau dari mana tentangku ?” tanyaku pada Fiki
            Kini Fiki kembali meneteskan air mata. Aku masih belum mengerti apa arti tangisan ini. Yang pasti, aku masih mengharapkan kabar baik. Dan tangisan ini adalah tangisan kebahagiaan.
“2 tahun silam, kami sekeluarga memang pindah ke Banjarmasin. Tapi, sekitar 3 bulan lalu, Putra mengalami sakit yang mulanya hanya batuk yang disertai darah. Mama sangat khawatir dengan keadaan Putra. Mama dan Papa membawanya ke dokter di RS terdekat. Namun, dokter hanya bisa mendeteksi penyakitnya, tanpa bisa menyembuhkannya. Putra mengidap Kanker Otak. Tepat setelah satu bulan penyakit Putra terdeteksi, Putra mulai terbuka padaku. Ia menceritakan tentangmu.” Jelasnya panjang lebar
“lantas, bagaimana kabarnya sekarang ?” tanyaku dengan meneteskan air mata
“dan jam tangan itu,itu dibeli oleh Putra sekitar satu bulan lalu. Surat itu, itu juga dari Putra, namun aku yang menulisnya, karena Putra hanya bisa terbaring lemah.”
            Kesunyian menghampiri kami. Matahari semakin turun. Aku melihat jam tangan pemberian putra. Aku tersadar, waktu sudah sangat sore, bahkan menjelang malam.
“Putra ..” Kata-kata Fiki menggantung. Membuatku semakin penasaran.
“Dia pergi.” Lanjut Fiki
“Pergi kemana ?” aku menahan air mata yang penuh di mataku
“Dia meninggal sekitar 2 minggu lalu. Ia menitipkan beberapa pesan. Kau harus berjanji, setelah kau mengetahui berita ini, kau harus tenang. Ini merupakan permintaan Putra, jangan pernah kecewain Putra”
            Aku hanya bisa menangis penuh penyesalan. Namun inilah takdir. Aku bersyukur dapat mengenal Putra. Putra adalah yang terbaik untukku. Aku tak akan mengecewakan Putra, seperti janji pertamaku dengan Putra “disaat diantara kita pergi jauh, berjanjilah untuk selalu setia, dan bergerak untuk menjadi lebih baik. Jangan terus menerus terlelap dalam kesendirian.”

Selasa, 26 Februari 2013

Harapan Dalam Sepi



Terasa begitu sepi hati tanpamu
Kini ku tlah kehilangan dirimu
Ku relakan dia bersamamu
Walau sebenarnya ku tak relakan kau

Apakah arti ku teteskan air mata ini
Ku tak mengerti
Mengapa air mata jatuh hanya karena semua ini
Ku tak ingin mengusik dirimu kembali

Kan ku hapus semua air mata ini demi kebahagiaanmu
Karna kebahagiaanmu itu kebahagiaanku
Liku cinta memang menyakitkan untukku
Ku berkorban untukmu

Bahagiakanlah dia
Jangan kau buat dirinya terluka
Jangan kau ulangi perbuatanmu kepadanya
Mengertilah perasaannya

Senin, 25 Februari 2013

Kurelakan



Tanpa terasa tlah sekian lama kita berpisah
Ku menunggumu di tempat biasa kita
Kau tak kunjung datang
Apa kau tlah lupa akan persahabatan kita ?

Tertulis di sebuah batang pohon nama kita
Ingatkah kaulah yang mengukirnya
Kau tlah berjanji takkan lupakan bersahabatan kita
Namun kau mungkin lupa

Kini kau lebih asyik bersamanya
Yang tlah membuatmu lebih bahagia
Biarlah hanya aku yang mengenang masa indah kala lalu
Berbahagialah kau

Bukan Tanpa Alasan



Getaran handphoneku bener-bener bikin aku pusing. Emang sihh, gak biasanya aku sebel sama getaran handphoneku. Tapi kali ini bener-bener beda, sangat berbeda dari biasanya. Karena getaran itu menandakan ada sms dari orang yang sebenernya aku sayang. Aku mengenalnya cukup lama, aku pernah bertatap muka dengannya sekali, itupun hanya kebetulan. Yunaz namanya. Aku lebih mengenalnya dekat hanya lewat dunia maya. Dia juga termasuk sahabatku yang pengertian. Kalo dilihat dari sisi kepribadiannya, dia memang cukup menjadi idaman setiap cewek.
Sejak kemarin sore, dia terus mengirim pesan yang menurutku terlalu romantis. Aku sadar, dia menyukaiku bahkan lebih dari itu. Awal aku mengenalnya, aku memutuskan untuk menjadikannya seorang sahabat sejatiku. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri, kenapa aku sekarang mulai menyukainya padahal niat awalku hanya ingin bersahabat dengannya, tapi aku belum menemukan jawaban dari pertanyaan yang timbul dari fikiranku itu sendiri. Belum sampai aku menemukan jawaban itu, getaran handphoneku kembali menggangguku. Lagi-lagi Yunaz yang mengirimiku pesan. Dia kembali memintaku untuk menjadi kekasihnya. Aku mulai bingung untuk membalasnya. Mungkin karena aku terlalu lama memberinya jawaban, dia memberiku pesan kosong sebanyak 3 kali. Aku mulai takut untuk memberi jawaban padanya. Andai saja aku bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya kurasakan saat ini padanya, pasti dia juga bakal seneng. Tapi hidup tak semudah itu. Hidup ini penuh dengan pilihan. Termasuk untuk memilih keputusan untuk menjawab permintaan darinya. Bahkan kurasa itu adalah soal tersulit, terumit yang pernah kutemui. Aku belum pernah mendapatkan soal itu sebelumnya, jadi secara kalo aku gaa bisa jawab.
Sebenarnya, untuk menjawab itu mudah. Tapi mempertimbangkannya yang sulit. Aku harus bisa memandang ke depan, bagaimana keadaan setelahnya. Kurasa jika aku memilih Yunaz menjadi kekasihku itu lebih buruk daripada aku menolaknya. Tidak hanya dalam satu pandangan, disisi lain, kalo aku nolak Yunaz aku takut dia dendam denganku dan aku akan kehilangan dia sebagai sahabatku dan akan berubah menjadi musuhku. Aku tak ingin itu terjadi. Akhirnya aku putuskan untuk menerimanya. Dia sangat senang dengan jawabanku ini, begitu pula aku. Aku juga merasakan hal yang sama seperti Yunaz. Aku dan dia sama-sama senang dengan hubungan yang lebih dari sepasang sahabat sejati. Tak lama kemudian aku berfikir, apakah aku akan bisa selamanya bahagia bersamanya ?.
Hari ini aku harus pergi ke sekolah. Seperti hari-hari biasa saat sekolah, aku duduk bersama Nana, sahabat karibku sejak awal menduduki tingkat SMP. Saat istirahat tiba, aku menceritakan apa yang berubah dari statusku. Nana terkejut mendengar apa yang kuceritakan. Ia tak mengira aku bisa mengubah statusku dari lajang menjadi berpacaran. Karena sebelum-sebelumnya dia mengenalku sebagai wanita yang tak pernah memiliki rasa kepada orang lain. Kali ini ceritanya beda, aku memang sudah lama memendam rasa ini sejak bertemu dengannya saat aku dinner bareng temen”ku di sebuah restaurant yang cukup ramai. Nana hanya tersenyum senang mendengar cerita itu.
Sepulang sekolah aku langsung menuju kamar untuk membuka handphoneku. Ternyata ada pesan dari Yunaz, dia memberiku semangat untuk belajar giat. Tapi sayang aku baru membacanya, kalo aja aku baca sebelum berangkat sekolah, pasti Ulangan Harianku tadi bisa dapet nilai sempurna. Aku membalasnya dengan ucapan terima kasih. Aku sangat senang dengan posisiku sekarang, memiliki orang yang begitu perhatian dan bisa menjadi inspirasiku.
“Nez, makan dulu nih, udah Mama siapin makan siangnya. Jangan lupa minum vitaminnya.” Ajak mama untuk makan siang bersama.
“Iya Ma, Nezti ganti baju dulu ya Ma. Habis itu langsung ke ruang makan.” Jawabku dengan menyertakan alasan.
“Cepetan ya Nez, udah ditungguin Dede’ tuh !.” kata Mama agak sebel gara” aku cukup lama.
“Ok Ma, !.” jawabku simple.
            Aku segera menuju ruang makan untuk makan bareng Mama dan Dede’ tersayangku. Aku tiba-tiba pengen mandang Mama dalam-dalam. Aku gaa tau kenapa aku jadi seperti ini. Aku merasakan ada yang berbeda dengan perasaanku.
“Nez, kenapa liatin Mama kayak gitu ? cepetan makan dulu. Habis itu bantuin Mama beres-beres.” Tegur Mama.
“Ehh.. Ii iya Ma, siiph. Prajurit siap komandan.” Jawabku sedikit kaget mendengar kata-kata dari Mama.
            Selesai makan siang aku segera membantu Mamaku membereskan meja makan. Setelahnya aku belajar untuk pelajaran besok. Tapi belum sampai aku membuka buku materiku, aku merasa lemas disertai pusing sehingga buku yang kubawa terjatuh. Tak terasa ada darah yang menetes dari hidungku. Tapi aku tak begitu mempermasalahkannya. Aku berfikir mungkin hanya karena cape’ atau sebab lain yang tidak membahayakan, karena sejak kecil aku sering mengalaminya. Tapi tak separah itu, aku hanya mengeluarkan darah dan gaa sampe ngerasa lemes dan pusing kaya’ gini. Aku segera menghapus tetesan darah di sampul bukuku. Agar besok temen” yang meminjam bukuku tak curiga denganku.
            Keesokan harinya aku tetap menjalani hari-hariku seperti biasa. Meski sedikit ada yang berbeda, hari ini aku berangkat menggunakan mobil pribadi Nana karena Papa gaa bisa anterin aku ke sekolah. Papa sedang ada urusan bisnis ke luar kota. Aku senang hari ini aku bisa berangkat bareng Nana. Dia juga seneng bisa bareng sama aku, kan di mobil bisa bercanda bareng. Tengah asyik bercanda aku ngerasa kepalaku seakan begitu berat dan tak bisa menggeleng. Tapi aku tak menunjukkannya pada Nana, aku takut dia khawatir denganku. Sampai di sekolah aku langsung menuju bangkuku dan tak duduk terlebih dahulu di depan kelas seperti biasa. Nana terlihat begitu memperhatikanku, sehingga kuputuskan untuk kembali ke depan dan bergurau bersama temen” yang laen, padahal asal mereka tau aku merasakan begitu sakit di kepalaku ini.
            Jam pelajaran pun usai. Aku hari ini seperti tadi saat berangkat, pulang pun aku bareng sama Nana. Sampainya di rumah aku langsung menuju kamar dan membuka HPku sebentar untuk mengecek pesan yang masuk. Ternyata ada 7 pesan. 3 dari Yunaz dan 4 dari teman sekolahku. Aku hanya membacanya dan tak membalasnya. Setelah itu aku langsung berbaring di tempat tidurku karena aku tak kuat merasakan sakit ini.
            Aku terbangun dari tidurku, tapi aku tak mendapati aku berada di dalam kamar pribadiku. Aku ada di sebuah ruangan yang asing bagiku. Rasanya di ruangan ini begitu dingin, disampingku ada Papa, Mama, dan Dede’. Aku senang karena Papa sudah pulang, padahal di jadwal Papa baru pulang lusa depan.
“Pa, Ma, kakak kenapa ?.” Tanya Dede’ku
“gapapa Dede’. Kakak cuma capek aja.” Jawab Papa
            Akhirnya masuklah tante dan omku, mereka hanya menyapaku dan tak mengobrol denganku. Tapi aku melihat mata mereka merah seperti bekas menangis. Mereka mengajak Dede’ keluar dari ruangan. Aku bingung kenapa aku bisa nyasar ke tempat ini. Padahal sebelumnya aku tidur di kamarku, bukan di ruangan dingin ini.
“Pa, aku seneng Papa udah pulang dan bisa ada disamping aku lagi.” Kataku penuh kebahagiaan.
“Iya sayang, Papa juga seneng bisa disamping kamu lagi. Habis jadwal Papa terlalu panjang, jadi Papa wakilin aja ke Om Didik. Kan dia juga bisa urusin bisnis Papa.” Kata Papa dengan alasan panjang lebar.
“Pa, Ma kenapa aku ada di sini ? padahal tadi siang aku tidurnya dikamar. Kok bangun-bangun nyasar ke tempat ini, aku lagi mimpi yaa..” Tanyaku penuh penasaran.
“Nggak sayang, kamu kecapekan sehingga kamu harus rawat inap beberapa hari di sini.” Jawab Mama sambil menenangkanku
“Aku gapapa kan ?” Tanyaku singkat.
“Kamu gapapa kok sayang. Kamu cuma capek aja, mungkin kamu terlalu banyak tugas sampe kamu jadi lupa jaga kesehatan.” Jawab Papa meyakinkanku.
“Pa, ACnya matiin donk, dingin banget rasanya. Bisa minta tolong kan Pa.”
“Siap bos kecil.” Gurau Papa padaku.
            3 hari telah berlalu, hari ini aku dibolehin pulang dari RS. Tapi aku belum bisa masuk sekolah karena aku masih butuh istirahat untuk memulihkan kesehatanku kembali. Aku baru tersadar 3 hari aku tak memegang Hpku yang tertinggal di laci meja belajarku. Ketika kumembukanya, aku sangat terkejut karena begitu banyak sms yang gaa karuan dari Yunaz. Dia marah karena aku 3 hari ngilang gitu aja tanpa pamit. Aku akhirnya meminta maaf padanya, tapi aku membuat alasan lain agar Yunaz tak khawatir dengan keadaanku yang sebenarnya.
            Kini aku kembali masuk ke sekolah. Hari ini aku diantar oleh supir kesayanganku, Papa. Beliau memang supir setiaku dari bayi sampe sekarang. Beliau juga bisa jadi temen curhatku kalo aku lagi kesel sama orang, atau mungkin lagi ada masalah, karena solusi dari Papa paling siiph. Aku bangga memiliki Papa yang sangat sayang dan peduli kepada keluarganya.
            Setibanya di depan kelas teman-teman udah nungguin. Nana berada paling depan. Ia menyambutku dengan senyuman nyimutnya. Aku kembali membalas senyuman itu. Ternyata setelah lama istirahat di rumah dan kembali bersekolah rasanya begitu berbeda. Aku begitu rindu pada mereka, terutama Nana. Ia cerita kalo waktu aku rawat inap dia sempat menjenguk, tapi karena aku lagi tidur dia gaa berani bangunin. Jadi ia lebih memilih untuk langsung pulang dari pada nunggu berjam-jam. Pelajaran hari ini cukup menyenangkan dan cukup aku bintangi, Olahraga. Pelajaran ini sangat aku sukai karena manfaatnya tak kalah dengan pelajaran lain. Kan kalo pelajaran di kelas ngelatih otak, kalo pelajaran olahraga ini ngelatih otot. Hari ini aku belum bisa mengikutinya, karena hari ini hari pertamaku masuk sekolah setelah sakit. Sayang sekali..
            Jam pelajaran pun usai, aku segera menuju gerbang sekolah untuk menunggu jemputan Papa bareng Nana dan teman-teman lainnya. Aku melihat ke kanan kiri gerbang sekolah, tapi aku tak menemukan Papa yang sedang menjemputku. Tak terasa teman-teman yang ikut nunggu jemputan bareng aku berangsur-angsur dijemput, termasuk Nana. Tapi ia memutuskan untuk menungguku sampai dijemput terlebih dahulu. Karena mungkin terlalu lama menunggu, supir Nana memberi saran untuk mengantarkanku ke rumah. Akhirnya karena hari sudah menjelang sore, aku mengikuti saran itu.
            Sore ini Papa berjanji akan mengajakku membeli buku baru di toko buku. Aku menanyakan pada Mama dimana Papa sebenarnya.
“Ma, Papa kemana kok tadi gaa jemput aku siih ? lagi pula Papa tadi juga janji mau ngajak Nezti ke toko buku, tapi kok malah gaa ada.. Kan jadi gaa asyik,,!” tanyaku pada Mama
“Gini Nez, tadi Papa telfon ke Mama kalo Papa ada meeting mendadak di kantor. Sebenernya tadi sempet pulang dan mau jemput kamu tapi waktunya mepet. Jadi maaf kalo Papa hari ini gak jemput kamu ya Nez. Urusan ke toko buku ntar Mama anterin aja ya Nez, sekalian Dede’ mau beli buku gambar sama pensil warna.” Jawab Mama begitu panjang
“Ok deh Ma, gaapapa. Penting aku udah sampe rumah. Ya kan Ma ?” jawabku menanggapi alasan kenapa Papa gaa jemput aku
“Iya sayang.” Jawab Mama begitu singkat, padat, dan jelas.
            Yunaz hari ini kebetulan ada perlu untuk mencari buku untuk tugas sekolahnya. Aku putuskan untuk memberitahu dimana aku biasa membeli buku dan perlengkapan lainnya dan kebetulan Yunaz mengetahui tempatnya. Sekalian aja bareng, tapi gaa mungkin kalo berangkat bareng.
            Malam harinya aku berangkat ke toko buku yang aku maksud. Ternyata Mama memang mengajakku ke tempat ini. Aku belum tau apakah Yunaz sudah datang atau belum yang pasti kita akan bertemu disini. Tak terlalu lama aku memilih-milih buku yang akan kubeli aku dicubit oleh orang, ternyata Yunaz. Mama segera menghampiriku untuk membantu mencarikan buku yang kucari.
“Gimana Nez, udah ketemu bukunya ?” tanya Mama padaku
“Belum Ma, ini masih yang materi dasarnya aja. Yang pendalaman materi dan soal-soal percobaannya belum. Bantuin ya Ma !” pintaku pada Mama
“Iya sayang, lho ini siapa Nez ?” tanya Mama padaku ketika melihat Yunaz.
“Temen Ma, kebetulan tadi ketemu di sini. Kenalin Ma ini Yunaz.” Jawabku dengan sedikit tercantum kebohongan
“Temen apa pacar sih Nez ? kan sekali-kali curhat ke Mama gaapapa Nez jangan ke Papa terus. Kalo pacar juga gaapapa Nez. Kamu udah dewasa, tapi jangan sampe kamu lupa tugas utamamu sebagai pelajar.” Jawab Mama sedikit menggodaku
“Beneran tante kalo pacar gaapapa ? Tante bercanda nih.” Sela Yunaz
“Kamu apaan sih Naz ? ada-ada aja.” Balasku agak jengkel
“Lho, kok jadi bertengkar sih ? kalian udah pada gede, gak malu sama Dede’ ?” Mama kembali bercanda denganku dan Yunaz.
“Eiia ada Dede’, aku lupa kalo ada Dede’. Sorry ya De’. Peace !” kataku karena aku baru sadar ada Dede’ di sebelahku
“jadi kalian emang pacaran nih ? jujur aja lah Nez, Mama ngizinin kok, tapi inget pesan Mama tadi. Belajarnya nomer satu. Yunaz juga, jangan lupa tugasnya sebagai pelajar ya.” Pesan Mama pada Yunaz
“Siap Tante, aku kan selalu belajar giat, biar gak kalah sama Nezti, dia kan jagoan di sekolah.” Canda Yunaz
“Mulai deh nihh.. Gaa di sms, gaa ngobrol sama aja candaannya.” Ucapku kesal sambil mencari buku yang aku inginkan
“Yahh Tante, Nezti marah. Gawat Tante.” Keluh Yunaz ke Mama
“Kamu sihh godain Nezti terus, marah deh Neztinya, !” balas Mama ke Yunaz
“Iya juga ya Tante. Nahh, aku udah nemuin buku yang aku cari, kamu udah belum Nez ?” balas Yunaz ke aku dan Mama
“Udah nih, balik yuk.” Kataku
“Ok, ayo ke kasir Nez !” balas Mama
Siap Ma. Ayo Naz !” jawabku ke Mama dan Yunaz
“Meluncur !” balas Yunaz
            Akhirnya aku telah selesai mencari buku, begitu juga dengan Yunaz. Aku senang Mama bisa tenang menerima Yunaz sebagai pacar aku. Kelihatannya Mama memang orangnya kayak Papa, enak buat tempat curhat. Besok Mama meminta Yunaz untuk main ke rumah. Yunaz menyanggupinya, aku sangat senang.
Keesokan harinya Papa sudah berada di rumah, Beliau meminta maaf padaku karena kemarin tak bisa menjemputku. Aku mengerti posisi Papa dengan bisnisnya. Beliau sangat sibuk karena harus meeting kesana kemari. Hari ini aku akan diantar oleh Papa dan dijemput oleh Papa lagi.
Sepulang dari sekolah, aku melihat ada motor yang terparkir di halaman rumahku. Saat aku masuk ternyata ada Mama dan Yunaz.
“Assalamu’alaikum..” ucapku bersamaan dengan Papa
“Wa’alaikumsalam..” jawab Mama dan Yunaz
“Ada tamu Ma, siapa ini Ma ? kok Papa belum pernah lihat.” Tanya Papa dengan suara lirih
“Ntar juga kenal Pa, tunggu aja.” Jawab Mama pada Papa
“Nez, ganti baju dulu sana, terus kesini ya Nez !” perintah Mama padaku
“Siap Ma.” Jawabku simple
            Aku segera ganti baju dan menuju ke ruang tamu. Tapi saat aku menuju ruang tamu tak kudapati Papa dan Mama disini. Ternyata mereka sedang mengobrol di ruang keluarga. Akhirnya aku memutuskan untuk menemani Yunaz terlebih dahulu.
“Kenalin Pa, ini Yunaz. Dia itu anaknya sholeh, sopan, pinter juga pengertian. Gimana menurut Papa ?” Goda Mama padaku
“Menurut Papa juga gitu Ma, kelihatan dari dandanannya. Bisa diandalkan. Memang dia siapa Ma, Papa penasaran !” tanya Papa penuh penasaran
“Dia itu pacarnya Nezti Pa, Mama gak bisa berbuat apa-apa Pa. Yang penting buat Mama asal Nezti seneng, Mama juga seneng Pa. Mama takut kehilangan Nezti Pa. Mama sayang sama Nezti. Mama harap Yunaz bisa jagain Nezti dengan baik. Dan gak buat Nezti kecewa.” Terang Mama sambil meneteskan air mata
“Papa juga sama kayak Mama. Papa gak sanggup kehilangan putri Papa ini. Papa pengen lihat dia bahagia Ma. Papa akan berpesan pada Yunaz untuk menjaga dan membahagiakan Nezti Ma. Tapi jangan nangis Ma, nanti Nezti curiga.” pinta Papa pada mama
“Iya Pa, Mama cuci muka dulu ntar langsung ke ruang tamu. Papa duluan aja. Jangan lama-lama.” Kata Mama
“Iya Ma,” Jawab Papa

*di ruang tamu
“Gimana ngobrolnya, udah selesai belum. Kelihatannya kok asyik banget. Papa gak ganggu kan Nez ?” canda Papa
“Papa apaan sih, ya nggak sama sekali lah Pa.” Jawabku
“Iya Om, malah saya seneng Om mau nemenin saya disini sama Nezti. Kan kalo 2 orang yang bukan muhrim sendirian yg ketiga setan. Jadi kalo ada Om kan gaa bakal ada setan.” Canda Yunaz
“Kamu cerdas Yunaz.” Puji Papa pada Yunaz
“Makasih Om.” Jawab Yunaz
“Wahh wahh, udah pada asyik ngobrol nih, Mama ketinggalan dong. Mama gabung ya !” Sela Mama
“Silahkan Ma.” Jawabku
“Jadi begini Yunaz, Om sengaja minta kamu ke sini lewat Mamanya Nezti. Karena Om pengen tau gimana sebenernya kekasih hati putri Om ini. Om penasaran banget sama kamu. Dan akhirnya sekarang kita bisa kumpul disini.” Terang Papa
“Iya Om. Saya seneng bisa ketemu langsung sama Om dan Tante disini.” Jawab Yunaz
            Setelah cukup lama mengobrol, Yunaz meminta izin pada Papa dan Mama untuk pulang karena hari sudah menjelang sore.
“Om, Tante saya pamit dulu. Gaa terasa ternyata udah sore. Kapan-kapan kalo saya ada waktu saya main lagi ke sini.” Ucap Yunaz meminta izin
“Baiklah, tapi sebelum kamu pulang Om sama Tante pengen kasih pesen ke kamu.” Kata Papa
“pesan apa Om ?” tanya Yunaz begitu simple
“Om dan Tante harap kamu bisa jaga Nezti seperti kamu jaga diri kamu sendiri. Dan kami juga berharap jangan sampai kamu lukain hati Nezti. Apa kamu sanggup ?” pesan Papa pada Yunaz
“Insya Allah saya siap Om. Saya sayang sama Nezti.” Jawab Yunaz dengan penuh percaya diri
“terima kasih Naz, kami percaya kamu bisa.” Harap Mama
“Iya tante. Nez, aku duluan ya. Kapan-kapan aku maen lagi deh” Kata Yunaz
“Ok Naz, hati-hati dijalan ya. Jangan ngebut soalnya jalanan kalo sore kan rame.” Pintaku pada Yunaz
“Iya Nez, aku bakal hati-hati. Duluan ya Nez. Assalamu’alaikum Nezti. Mari Om, Tante” ucap Yunaz sedari pergi
“Wa’alaikumsalam” Jawab Papa, Mama, dan aku serentak
            Tak terasa telah hampir satu tahun aku menjalin cinta dengan Yunaz. Aku sekarang telah menduduki tingkat SMA. Aku senang karena aku masih bisa satu sekolah dengan sahabatku dari SMP, Nana. Bahkan tak hanya satu sekolah, kami juga satu kelas dan sebangku. Hari-hariku di SMA sangat menyenangkan, aku bisa bersosialisasi dengan dunia di luar sana. Tapi aku masih tetap bersama dengan kekasihku Yunaz yang selalu membimbingku agar tak belok dari rel kehidupanku. Aku merasa semakin hari aku semakin mengerti arti sebuah ketulusan hati. Aku menyadari betapa pedulinya Yunaz kepadaku. Aku bersyukur bisa memiliki keluarga dan kekasih seperti ini. Mereka begitu sayang padaku dan tak pernah menyakiti perasaanku.
            Pagi ini aku merasa ada yang mengganjal di hatiku, aku tiba-tiba ingin menjauh dari orang yang kusayang, Yunaz.  Aku merasa ini benar-benar aneh, akhirnya kuputuskan untuk mengajaknya keluar rumah hari ini. Kebetulan dia sedang ada waktu longgar. Aku ingin mengajaknya ke tempat yg myngkin ia belum mengenalnya. Di sebuah tempat yg bisa membuatku begitu tenang ketika sedang ada masalah.
            Pukul 9 pagi aku keluar bersama Yunaz. Aku menunjukkan arah menuju tempat itu. Setelah kurang lebih 15 menit aku dan Yunaz sampai di tempat yang kumaksud. Yunaz tak menyangka aku bisa menemukan tempat seperti ini. Padahal dibalik itu, aku telah menyusunnya sejak aku memiliki penyakit yg mungkin akan membuatku hidupku semakin pendek. Aku segera mengungkapkan tujuanku mengajaknya kemari. Aku sedikit ragu untuk mengatakannya, tapi aku tak mau terlambat untuk mengatakannya. Setelah Yunaz mendengar kata-kata yg keluar dari mulutku Ia terlihat begitu sedih, marah, kecewa, semua itu menjadi satu dalam raut Yunaz. Aku benar-benar tak tega melihatnya, namun aku semakin tidak tega Ia kehilangan aku dengan keadaan yang begitu menyakitkan yang mungkin lebih menyakitkan dari ini.
            Setelah satu minggu aku putus dengan Yunaz aku kembali masuk RS. Aku benar-benar merasa umurku telah hampir habis. Aku memberi pesan pada Mama, agar Mama membuka laci di meja belajarku ketika saatnya tiba. Mama mengerti apa maksudku. Aku segera masuk ke dalam ruangan yang begitu dingin, bahkan mungkin lebih dingin dari saat aku berada di Korea saat liburan keluarga. Badanku terasa begitu menggigil dan susah untuk digerakkan. Aku begitu bingung kenapa aku menjadi seperti ini, aku berfikir penyakitku telah tak bersahabat denganku lagi.
            Mungkin memang ini kehendak-Nya, aku mendengar obrolan antara Mama, Papa, dan dokter. Namun aku tak mengerti keadaanku sedang sadar atau tidak.
“Dok, bagaimana keadaan putri saya. Tolong lakukan apa saja untuk menolongnya Dok” Tangis mama
“Iya dok, tolong Nezti. Dia bisa diselamatkan Dok. Tolong dokter berusaha keras Dok. Saya ingin melihatnya bahagia Dok. Saya tak ingin dia merasakan sakit di tubuhnya.” Ucap Papa
“Baik, namun kesempatan untuk menyelamatkan Nezti sangat kecil karena tumor otak yg menyerangnya telah membesar dan sangat berbahaya.” Tegas Dokter
            Aku mendengar semua itu, aku mengerti apa sebenarnya penyakitku. Namun dibalik ini semua, aku telah mengetahui berita itu dari dulu. Papa dan Mama mungkin sengaja menyembunyikannya dariku agar aku tetap tegar. Aku mengerti maksud mereka. Mereka sangat sayang padaku sehingga mereka menyembunyikan berita buruk itu dariku.
            Tiba-tiba Mama berteriak memanggil dokter, aku mendengarnya namun aku tak mengerti apa yg terjadi sebenarnya. Aku sempat mengingat kembali Yunaz. Dia telah bahagia bersama pacar barunya, aku senang dia bisa mencari penggantiku dengan cepat sehingga dia tak begitu lama terlarut dalam kesediNaz karena kehilangan aku.
“Mama, Yunaz.” Ucapku lirih
“Iya sayang, Yunaz bakal kesini. Dia lagi dijalan.” Terang Mama
“biarin dia bahagia sama pacar barunya, aku seneng Ma. Aku juga pengen ketemu Nana” Ucapanku makin lirih bahkan hampir tak terdengar
“Iya Nezti. Sabar ya sayang. Nana juga bakal kesini. Bentar lagi dateng.” Ucap Mama seraya menangis
“jangan nangis Pa, Ma. Nezti sedih liat kalian nangis.” Aku ikut menangis. Aku berharap bisa lebih lama bersama mereka, disamping mereka
“Nezti,”
Aku mendengar ada orang yg memanggilku.
“Nezti, aku sayang kamu Nez, aku gaa mau kehilangan kamu” tangis Yunaz
“Naz, aku juga sayang sama kamu. Jaga pacarmu dengan baik, seperti kamu jagain aku dulu. Aku bangga sama kamu Naz.” Tangisku
“Nezti..” Yunaz menangis
“Nezti, aku disini Nez.” Sapa Nana dengan ramah
“Na, aku kangen kamu.” Ucapku
“Semangat terus ya Na.” Lanjutku
“Nezti, aku masih pengen bisa jadi sahabat kamu. Kamu sahabat terbaik aku Nez.” Terang Nana
Tetesan air mata Yunaz menyentuh tanganku. Aku merasa makin ingin lebih lama bersama orang yg kusayang. Namun aku tak dapat menghindari takdir
“Naz, jangan nangis. Aku juga sedih kalo kamu sedih.” Tangisku
“Nezti, aku sayang kamu Nez. Nezti..” Yunaz semakin menangis
Tiiiiiit.....
“Nezti...” semua orang di sekelilingku menangis
            Aku mengerti perasaan mereka saat ini. Mereka sangat sedih. Mama membuka laci di meja belajarku. Mama menemukan begitu banyak amplop. Disitu terdapat banyak nama-nama yg dituju oleh surat itu. Ada buat Mama, Papa, Dede’, Yunaz, dan Nana.
Mereka membaca surat itu masing-masing. Dan aku telah lega karena kini mereka mengerti apa maksudku selama ini. Terutama Yunaz, sekarang Ia mengerti mengapa aku memutuskannya dulu.


~ THE END ~